Empat sekawan yang tidak mengenal hujan ataupun panas kebanyakan menghabiskan waktu berjalan bersama setiap akhir pekan, itulah masa remaja kami. Karena saya satu-satunya Srikandi dalam kelompok ini, sudah tentu saya diistimewakan,dan dengan mudahnya saya mendapat perhatian dan pertolongan dari mereka. Uh, itu sih dulu, sebelum mereka pada punya pacar.
Betapa bersyukurnya kami tinggal di bagian Bumi Pertiwi, desa Parongpong di lingkungan kaki Gunung Tangkuban Perahu, terdapat lebih dari lima air terjun, perbukitan, lembah, ngarai, sungai, danau, air panas, hutan pinus, padang rumput, kebun sayur dan kebun bunga.
Pagi ini Dadan tidak ada, entah ada urusan apa sehingga kami bertiga bingung menentukan tujuan perjalanan di sekitar kampung kami.
Tercetuslah ide untuk pergi ke atas air terjun, mulut Curug Bubrug. Dalam Bahasa Sunda curug berarti air terjun. Aliran Sungai Curug Bubrug berlanjut ke Curug Cimahi yang hanya berjarak satu kilo meter, kemudian Curug Penganten di daerah Desa Cihanjuang terus menuju Curug Lalay di Wilayah Cimahi.
Melintasi kampung, kebun, dan meniti jembatan bambu, akhirnya satu jam kemudian kamipun tiba di sungai tepat meluncurnya air terjun ke Curug Bubrug. Dari atas ketinggian 25 meter itu saya hanya berteduh melepas lelah sambil memperhatikan David dan Deni yang asik bermain air. Beberapa menit kemudian, keceriaan berubah menjadi kengerian yang luar biasa bagi kami. David tergelincir di aliran sungai yang menuju air terjun itu sedangkan Deni yang berusaha menolongnya mendadak pucat seperti orang mati ketika tangannya tak kuasa menggenggam tangan David yang terus meluncur ke air terjun.
Tidak sedikit pelancong yang bermain-main di bawah air terjun yang membentuk sebuah telaga itu menjadi korban dari arus bawah air terjun tersebut. Konon, ada gua di dasar air sebagai perangkap sehingga orang tidak dapat muncul lagi kepermukaan.
“Tuhan selamatkanlah David” doa pendek kami terpanjat kepada Yang Maha Kuasa.
Walaupun lutut kami mendadak lemas, namun dengan segala kekuatan kami yang tersisa kami lari menaiki bukit kemudian menuruni tebing yang terjal untuk mencapai bagian bawah air terjun. Sembari berlari saya membayangkan kemarahan orang tua saya, saya pun stress berpikir bagaimana menyampaikan berita duka kepada orang tua David, ditambah lagi membayangkan kehilangan sahabat yang kami sayangi.
Tuhan memiliki rencana istimewa untuk David, dia selamat, gantinya saya memeluk dia malah saya memukul-mukul dia untuk memastikan bahwa dia masih hidup.
Terima kasih Tuhan, kami bisa menikmati kebahagiaan persahabatan lebih lama lagi. – 1988.
Dengan nyaring aku berseru kepada TUHAN, dan Ia menjawab aku dari gunungNya yang kudus. Mazmur 3:4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar