Tidak ada tanda-tanda hujan ataupun angin sehingga hari minggu inilah yang kami pilih untuk hiking bersama ke-12 teman-teman menuju danau di antara Gunung Burangrang, Gunung Tangkuban Perahu, dan Gunung Sunda, yaitu Situ Lembang. Kami tinggal di desa Parongpong, Bandung Utara, di kaki gunung Tangkuban Perahu, jadi hiburan atau rekreasi kami adalah seputar hiking, camping, hunting, dan mancing. Beruntung karena aktifitas menggembirakan ini relatif murah yang tentunya cocok dengan kondisi saku kami di lingkungan desa ini.
Situ Lembang memiliki pemandangan yang indah yang dapat ditempuh hanya dalam dua jam perjalanan berjalan kaki dari desa kami jika mengikuti jalan/tracking umum. 500 meter melintasi perkampungan, 500 meter melintasi perkebunan, dua kilo meter melintasi hutan pinus.
Saya memiliki tiga teman dekat yang biasanya kemanapun atau mengikuti acara apapun kami bersama, mereka adalah Dadan, David, dan Deni, namun hari itu hanya saya bersama salah satu dari mereka yang ikut dengan rombongan menuju Situ Lembang. Situ berarti danau dalam Bahasa Sunda. Kami sering pergi ke sana, bahkan mengetahui beberapa jalan pintas bahkan jalan untuk menghindar dari penjaga hutan atau area latihan kopasus.
Entah kenapa hari itu kami memilih jalan yang salah, ditengah jalan kami memilih arah berlawanan sehingga kami mengarah ke Gunung Tangkuban Perahu, dari dataran tinggi itu kami dapat melihat Situ Lembang sudah sangat jauh dan kecil. Kemudian kami memutuskan untuk mengambil jalan kembali. Namun sangat disayangkan, waktu sudah menjelang senja dan kami belum juga mendapatkan jalan kembali bahkan kami kehabisan perbekalan karena kami hanya menyiapkan makanan untuk siang hari saja.
Kami melanjutkan perjalanan sampai malam tanpa senter, bintang dan bulan tidak bisa kami lihat karena rimbunnya hutan yang kami lalui, kami membuat rantai dengan berpegangan satu sama lain, kecuali saya, tangan kiri saya memegang Esther dan sisi kanan saya memeluk sahabat saya. Di tengah malam yang dingin serata berada di dalam lemari es namun ada kehangatan persahabatan yang kami rasakan.
Orang tua kami yang gelisah menunggu kedatangan kami telah mengarahkan tiga kampung, pasukan kaveleri serta kelompok Satgana dari Universitas Advent Indonesia yang berada di wilayah desa kami untuk mencari kami.
Kami istirahat dan tidur di dataran kering namun sangat dingin sehingga kami harus merapat satu sama lain. Keesokan harinya setelah mentari menyinari dan menghangatkan bumi, kami membersihkan diri juga memuaskan dahaga di sungai kecil yang melintasi hutan itu. Setelah rapi dan segar kamipun siap mengadakan perjalanan kembali pulang, namun saat kami berpapasan dengan orang-orang yang mencari kami mereka tidak mengetahui bahwa kamilah yang mereka cari, mungkin karena kami masih terlihat kuat dan rapi.
Kisah ini terjadi karena kami terlalu mengandalkan diri sendiri, mengambil keputusan berdasarkan perasaan bukan logika, sehingga jalan yang seharusnya mudah malah kita tersesat bahkan tidak sampai tujuan…. – 1988.
Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut. Amsal 14:12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar